Helya aqela pada 17 Agustus 2022.
8 paragraf untuk mengisi blog tentang keseharian di tanggal 17 Agustus 2022 tepat di hari kemerdekaan republik Indonesia, karya Helya aqela Tiassyabana XI IPA 3.
Di publish, Selasa 23 Agustus 2022.
Seolah sedang terusik, aku selalu terbangun sebelum alarm di ponselku berdering. Aku selalu dengan tiba-tiba membuka mata, kadang nafasku juga terengah. Aku selalu merasa memiliki mimpi, tapi tak pernah ingat. Namun dalam beberapa detik saja semuanya terlupakan sebab fokus ku langsung teralihkan dengan deretan hal yang harus cepat aku lakukan sebelum diriku berangkat kesekolah tepat jam 6.00 WIB, cukup benar-benar membuatku gelisah. Aku hanya punya waktu 2 jam untuk melakukan banyak hal (persiapan kesekolah) dan kegiatan harian ku lainnya. Waktu 2 jam sebenarnya cukup untuk menonton habis 4 episode The Summertime Rendering. Itu cukup lama. Namun entah kenapa aku selalu berbuat dengan tergesa-gesa, setengah detik sangat berharga. Aku sebenarnya hanya takut terlambat.
Kebetulan aku akan mengisahkan kejadian pada tanggal 17 Agustus 2022, itu tepat 6 hari yang lalu. Setiap pagi, keseharian ku selalu sama. Pagi itu juga, tak ada yang berbeda dari apa yang sudah aku ketik di paragraf pertama. Mungkin ada. Sedikit perbedaan di rasa takut akan terlambat. Ah, tidak bisa di bilang sedikit. Sedang. Setiap menit terlewati, aku selalu mengecek ingatan ku tentang topi yang ku tinggalkan di bawah meja kelas. "Aku meninggalkan nya disana kan?" Atau seperti, "terakhir kali, apa aku masih meninggalkannya di sana atau aku bawa pulang?" Sebenarnya sikap seperti itu cukup membuatku frustasi. Karena hari itu diadakan upacara untuk menghormati hari kemerdekaan bangsa Indonesia. Itu adalah alasan utama mengapa aku merasakan tekanan yang berlebih tentang hal hal seperti ketinggalan topi, lupa memakai dasi, dan terlambat datang.
Sebenarnya karena hanya upacara dan pasti pulang lebih cepat, aku tidak membawa bekal. Aku juga tidak makan pagi karena makanan hanya tersisa mie. 20 menit terakhir sebelum jam keberangkatan ku, 6.00 WIB, aku akan menyibukkan diri mengenakan seragam. 10 menit untuk menggunakan seragam putih abu-abu lengkap, 10 menitnya untuk memakai kerudung, merapikannya, kemudian memakai sepatu dan membuka gembok pagar.
Jam 6.05 atau jam 6.10, diantara waktu itu itu aku dan teman ku sudah tiba di sekolah.
Sejujurnya semangat ku sudah tak tersisa karena dari subuh langit tampak mendung. Matahari seolah enggan buat menampakkan atensinya, seperti sedang bermain petak umpet , sembunyi di balik gumpalan awan hitam yang semakin di lihat semakin meningkatkan kemalasan sebesar 2% tiap detiknya. Semesta tampaknya kesal melihat semangat ku di hari kemerdekaan republik Indonesia ini, karena tepat setelah kita menginjak kaki di lantai koridor, kejadian tak beruntung menimpaku saat itu juga. Pikiran ku sejujurnya sudah tak lagi jernih ketika melihat pintu setiap kelas masih tertutup. Tiba-tiba gelisah. Pasalnya aku menyimpan topiku di bawah meja dalam kelas. Jika kelas tak di buka untuk hari ini karena tidak mengadakan kegiatan belajar mengajar, aku akan dihukum karena tak pakai topi. Memikirkannya sudah cukup membuatku ingin menghilang dari bumi saat itu juga, menuju dunia anime kalau bisa
Satu hal langsung terlintas di pikiranku. Aku harus berlari, berkejar-kejaran dengan waktu untuk menuju tempat pak satpam yang memegang seluruh kunci kelas di sekolah ku. Cukup jauh, di gerbang masuknya para anak kelas 10, singkatnya, aku berlari dari ujung ke ujung, sekolah ku sangat luas dan itu benar-benar mengundang keringat. Aku ditemani oleh teman ku, sejujurnya aku merasa tak enak meminta dia untuk menemani. Apalagi setelah sampai, pak satpam menolak untuk membukakan kelas. Karena itu tak di anjurkan oleh sekolah. Perjuangan ku dan teman ku berlari-lari menyebrangi lapangan tak ada gunanya sama sekali.
Aku reflek mengumpat, kemudian istighfar, menimbulkan dosa lalu menimbulkan pahala. Harapan terakhir ku pupus. Berjalan kembali dengan gontai menuju kelas. Dari luar memang tampak pasrah dengan keadaan, tapi dalam hati aku terus memohon kepada Allah. Allah harapan ku satu-satunya. Dan seolah mendengar rintihan ku. Beberapa menit sebelum baris, kebetulan salah satu teman sekelas ku adalah anggota drumband, dan dia bertugas dalam upacara kali ini dan jelas topinya tidak digunakan. Pertama aku berniat untuk meminjam topinya, tapi ternyata sudah di pinjam orang lain. Kemudian aku langsung bertanya apakah ada topi dari teman satu ekskul yang juga bertugas hari ini.
Pada akhirnya semua baik-baik saja. Ujian sesaat. Aku benar-benar lega.
Upacara di mulai, langit benar-benar mendung. Warna yang membuat siapa saja melihatnya akan reflek menghembuskan nafas malas. Di tengah upacara, gerimis mulai melanda. Tak lama deras, tapi sesuai dugaan, upacara tetap berlanjut bahkan sampai setengah dari seragam kami benar-benar basah. Upacara dipercepat ketika guru-guru sadar hujan tampaknya ingin lebih lama menyapa bentala. Banyak sesi yang di skip, jadi mungkin lebih sedikit setengah jam atau bahkan tak sampai, kami di bubarkan setelah penutupan.
Terakhir, tidak ada yang bisa ku ketik lagi. Semuanya berlalu begitu saja. Setelah upacara itu aku pulang kerumah, hujan melanda sampai jam setengah tiga, lalu kami sekelas pergi menuju taman kota untuk membuat foto kreatif, mengikuti lomba buat meramaikan event kemerdekaan republik Indonesia di sekolah.
Komentar
Posting Komentar